Rabu, 12 Agustus 2009

tentang mitoni

Blog Entry

Sesuai dengan adat istiadat Jawa, untuk calon ibu yg sedang mengandung anak pertama dan usia kehamilan memasuki bulan ke 7, dilaksanakan upacara nujuh bulanan (mitoni) sebagai upacara syukuran agar janin yg sedang dikandung senantiasa memperoleh keselamatan.

Adapun bagian dari upacara mitoni ini terdiri dari :

Sungkeman

Yaitu calon ibu & ayah sungkem kepada ke 2 orang tua, memohon doa restu kiranya kehamilan ini bisa berjalan dengan lancar sampai dengan persalinan nantinya.

Siraman (mandi kembang dari 7 mata air yg berbeda )

Mempunyai makna pernyataan tanda pembersihan diri, baik fisik maupun jiwa calon ibu sehingga kelak melahirkan anak tidak mempunyai beban moral sehingga proses kelahirannya menjadi lancar. 7 orang wakil keluarga yg dituakan dipilih untuk melakukan siraman. Bagi yg menyiram akan diberikan souvenir cantik berisi 7 macam pernak-pernik yg dikemas cantik. Isinya (biasanya) berupa: pensil, handuk, sisir, benang, sermin, jarum, dan sabun.

Memasukkan telor ayam kampung ke dalam kain

Upacara memasukkan telor ayam kampung ke dalam kain (sarung) si calon ibu oleh calon ayah dari atas perut lalu telur dilepas, sebagai simbol harapan agar bayi lahir dengan mudah tanpa aral melintang. Juga mempunyai makna kalau telur pecah artinya bayinya kelak perempuan, dan kalau telurnya tidak pecah artinya kelak bayinya laki2.

Upacara brojolan

Yaitu memasukkan sepasang cengkir (kelapa muda) yang telah digambari Kamajaya dan Dewi Ratih (Secara simbolis gambar Kamajaya dan Dewi Ratih, tokoh ideal orang Jawa, melambangkan kalau si bayi lahir akan elok rupawan dan memiliki sifat-sifat luhur seperti tokoh yang digambarkan tersebut) ke dalam sarung dari atas perut calon ibu ke bawah, yang dilakukan oleh nenek calon bayi (ibunda calon ibu) dan diterima oleh Mama mertua. Makna simbolis dari upacara ini adalah agar kelak bayi lahir dengan mudah tanpa kesulitan. Kedua kelapa itu lalu digendong ibunda calon ibu dengan kain layaknya menggendong bayi.


Lalu calon ayah mengambil salah satu kelapa yg digendong ibunda calon ibu tanpa boleh melihat, jika yg diambil kelapa bergambar Dewi Ratih kelak anaknya perempuan dan kalau yg diambil bergambar Kamajaya kelak anaknya laki2. Lalu kelapa ini dibelah oleh calon ayah, cara membelah nya juga menunjukkan jenis kelamin calon bayi. Jika membelahnya tidak tepat di tengah, maka menunjukkan berjenis kelamin perempuan.

Upacara memutus lilitan janur/lawe yang dilingkarkan di perut calon ibu.

Lilitan ini harus diputus oleh calon ayah dengan maksud memutuskan segala bencana yang menghadang kelahiran bayi sehingga kelahiran berjalan dengan lancar.

Upacara ganti busana dengan 7 buah motif kain yang berbeda.

Dengan harapan agar kelak si bayi juga memiliki kebaikan-kebaikan yang tersirat dalam lambang kain2 tersebut. Tiap tamu akan ditanya oleh ibu pemandu upacara apa calon ibu sudah cocok memakai kain tersebut, dan serempak para tamu akan menjawab ”Beluuuuuuumm”..sampai dengan kain ke 7, baru ”Sudah panteeeeesss.......” Nanti nya dengan kain ke 7 yg sudah pantas itu, calon ibu didandani oleh perias untuk mengenakan kebaya dan motif yg terbaik lengkap dengan riasan yg cantik juga, untuk selanjutnya akan berjualan rujak bersama suami.

Motif kain tersebut adalah:
- sidomukti (melambangkan kebahagiaan),
- sidoluhur (melambangkan kemuliaan),
- truntum (melambangkan agar nilai-nilai kebaikan selalu dipegang teguh),
- parangkusuma (melambangkan perjuangan untuk tetap hidup),
- semen rama (melambangkan agar cinta kedua orangtua yang sebentar lagi menjadi bapak-ibu tetap bertahan selma-lamanya/tidak terceraikan),
- udan riris (melambangkan harapan agar kehadiran dalam masyarakat anak yang akan lahir selalu menyenangkan),
- cakar ayam (melambangkan agar anak yang akan lahir kelak dapat mandiri dalam memenuhi kebutuhan hidupnya).
- Kain terakhir yang tercocok adalah kain dari bahan lurik bermotif lasem dengan kemben motif dringin.

Rujakan

Terakhir adalah rujakan, di mana rasa rujak yg dibuat oleh calon ibu, juga menentukan jenis kelamin bayi yg akan dilahirkan. Jika rujaknya pedas, mengindikasikan si bayi berjenis kelamin perempuan. Lalu para tamu diperkenankan membeli rujak dengan uang kreweng dari tanah liat.






sejarah mitoni

Upacara Tingkeban adalah satu dari bermacam-macam tradisi upacara masyarakat Jawa, khususnya masyarakat di Daerah Istimewa Yogyakarta. Upacara yang diadakan untuk memperingati tujuh bulan usia kandungan ini – hanya - dilakukan bagi wanita yang baru pertama kali mengalami kehamilan.

Dalam tradisi masyarakat Yogyakarta - baik dari golongan rakyat biasa maupun golongan bangsawan (priyayi) yang hidup di lingkungan kraton - upacara ini merupakan upacara terpenting diantara upacara-upacara tradisional yang lain. Jika upacara ini diabaikan, masyarakat Jawa - khususnya masyarakat di Yogyakarta - percaya bahwa hal tersebut akan mengakibatkan gangguan terhadap keselamatan ibu dan bayi yang dikandungnya. Disamping itu, banyak orang beranggapan bahwa melahirkan anak tanpa – sebelumnya - mengadakan upacara Tingkeban ini disebut ngebokake anak: menyamakan anak tersebut dengan seekor kerbau. Hal ini telah banyak dilukiskan oleh Clifford Geertz dalam bukunya yang berjudul The Religion of Java (20, 45). Oleh karena itu, masyarakat diharuskan mengadakan upacara Tingkeban walaupun dengan acara sederhana.

Sejarah atau asal usul terjadinya upacara Tingkeban di dalam masyarakat Jawa - khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta - akan diuraikan sebagai berikut:

Pada jaman kerajaan Kediri diperintah oleh Raja Jayabaya, ada seorang wanita yang bernama Niken Satingkeb. Ia menikah dengan seorang punggawa kerajaan yang bernama Sadiyo. Dari perkawinan ini, lahirlah sembilan orang anak. Akan tetapi, nasib malang menimpa mereka, karena dari kesembilan anak tersebut tak ada seorangpun yang berumur panjang.

Sadiyo dan Niken satingkeb tidak putus asa dalam berusaha dan selalu berdoa agar mempunyai anak lagi yang kelak tidak bernasib malang seperti anak-anak mereka sebelumnya. Segala petuah dan petunjuk dari siapa saja selalu mereka perhatikan, tetapi tidak ada juga tanda-tanda bahwa istrinya mengandung. Maka, pergilah suami istri tersebut menghadap raja untuk mengadukan kepedihan hatinya dan mohon petunjuk sarana apakah yang harus mereka lakukan agar dianugerahi seorang anak lagi yang tidak mengalami nasib seperti anak-anaknya terdahulu.

Sang raja yang arif bijaksana itu terharu mendengar pengaduan Nyai Niken Satingkeb dan suaminya. Maka, beliau memberikan petunjuk agar Nyai satingkeb - pada setiap hari Tumbak (Rabu) dan Budha (Sabtu) - harus mandi dengan air suci dengan gayung berupa tempurung kepala yang disebut bathok disertai dengan membaca doa seperti berikut:

“Hong Hyang Hanging Amarta, Martini Sarwa Huma, humaningsun ia wasesaningsun, ingsun pudyo sampurno dadyo manungso.”

Setelah mandi, ia memakai pakaian yang serba bersih. Kemudian dijatuhkan dua butir kelapa gading melalui jarak antara perut dan pakaian. Kelapa gading tersebut digambari Sang Hyang Wisnu dan Dewi Sri atau Arjuna dan Sumbadara. Maksudnya adalah agar jika kelak anaknya lahir, ia mempunyai paras elok atau cantik seperti yang dimaksud dalam gambar itu. Selanjutnya, wanita yang hamil itu harus melilitkan daun tebu wulung pada perutnya yang kemudian dipotong dengan keris.
Segala petuah dan anjuran sang raja itu dijalankannya dengan cermat, dan ternyata segala yang mereka minta dikabulkan. Semenjak itu, upacara ini diwariskan turun-temurun dan menjadi tradisi wajib bagi masyarakat Jawa.

tata cara mitoni

Tumpeng Selamatan

UBO RAMPE MITONI/TINGKEBAN

(Selamatan Tujuh Bulanan)

Mitoni atau selamatan tujuh bulanan, dilakukan setelah kehamilan seorang ibu genap usia 7 bulan atau lebih. Dilaksanakan tidak boleh kurang dari 7 bulan, sekalipun kurang sehari. Belum ada neptu atau weton (hari masehi + hari Jawa) yang dijadikan patokan pelaksnaan, yang penting ambil hari selasa atau sabtu. Tujuan mitoni atau tingkeban agar supaya ibu dan janin selalu dijaga dalam kesejahteraan dan keselamatan (wilujeng, santosa, jatmika, rahayu).

PERSYARATAN :

1. Bubur 7 macam :

Kombinasi 7 macam; (1) bubur merah (2) bubur putih (3) merah ditumpangi putih, (4) putih ditumpangi merah, (5) putih disilang merah, (6) merah disilang putih, (7) baro-baro (bubur putih diatasnya dikasih parutan kelapa dan sisiran gula jawa).

Bubur putih dimakan oleh sang Ayah. Bubur merah dimakan sang Ibu. Bubur yang lain dimakan sekeluarga.


bubur7rupa

Bahan;

Bubur putih gurih (dimasak pake santen) dan bubur merah (dimasak pake gula jawa);

Bubur ditaruh di piring kecil-kecil;

2. Gudangan Mateng (sayurnya direbus) :

Bahan ; Sayur 7 macam; harus ada kangkung dan kacang. Kangkung dan kacang panjang jangan dipotong-potong, dibiarkan panjang saja. Semua sayuran direbus.

Bumbu gudangannya pedas.

3. Nasi Megono ; Nasi dicampur bumbu gudangan pedes lalu dikukus.

4. Jajan Pasar ; biasanya berisi 7 macam makanan jajanan pasar tradisional.

5. Rujak ; bumbunya pedas dengan 7 macam buah-buahan.

6. Ampyang ; ampyang kacang, ampyang wijen dll (7 macam ampyang). Apabila kesulitan mendapatkan 7 macam ampyang, boleh sedapatnya saja.

7. Aneka Ragam Kolo ;

Kolo kependem (kacang tanah, singkong, talas), kolo gumantung (pepaya), kolo merambat (ubi/ketela rambat); kacang tanah, singkong, talas, ketela, pepaya. direbus kecuali pepaya. Pepaya yang sudah masak. Masing-masing jenis kolo tidak harus semua, tetapi bisa dipilih salah satu saja. Misalnya kolo kependhem; ambil saja salah satu misalnya kacang tanah. Jika kesulitn mencari kolo yang lain; yang penting ada dua macam kolo ; yakni cangelo; kacang tanah + ketela (ubi jalar).

8. Ketan ; dikukus lalu dibikin bulatan sebesar bola bekel (diameter 3-4 cm); warna putih, merah, hijau, coklat, kuning.

9. Tumpeng nasi putih; kira-kira cukup untuk makan 7 atau 11, atau 17 orang.

10. Telur ; telur ayam 7 butir.

11. Pisang ; pisang raja dan pisang raja pulut masing-masing satu lirang/sisir.

12. Tumpeng tujuh macam warna; tumpeng dibuat kecil-kecil dengan warna yang berbeda-beda. Bahan nasi biasa yang diwarnai.

TATA CARA

Tumpeng ditaruh di atas kalo (saringan santan yang baru). Bawahnya tumpeng dialasi daun pisang. Di bawah kalo dialasi cobek agar kalo tidak ngglimpang. Sisa potongan daun pisang diletakkan di antara cobek dan pantat kalo.

Sayur 7 macam direbus diletakkan mengelilingi tumpeng, letakkan bumbu gudangannya melingkari tumpeng juga. Telur ayam (boleh ayam kampung atau ayam petelur) jumlahnya 7 butir, direbus lalu dikupas, diletakkan mengelilingi tumpeng. Masing-masing telur boleh di belah jadi dua. Pucuk tumpeng dikasih sate yang berisi ; cabe merah, bawang merah, telur utuh dikupas kulitnya, cabe merah besar, tancapkan vertikal. (urutan ini dari bawah ke atas; lihat gambar).

Tusuk satenya dari bambu, posisi berdiri di atas pucuk tumpeng; urutan dari bawah; cabe merah besar posisi horisontal, bawang merah dikupas, telur kupas utuh, bawang merah lagi, paling atas cabe merah besar posisi vertikal.

Pisang, jajan pasar, 7 macam kolo, dan 7 macam ampyang ditata dalam satu wadah tersendiri, namanya tambir atau tampah tanpa bingkai yg lebar.

Tambirnya juga yg baru, jangan bekas. Tampah “pantatnya” rata datar, sedangkan tambir pantatnya sedikit agak cembung.

Tumpeng tujuh macam warna ukuran mini, ditaruh mengelilingi tumpeng besar. Boleh diletakkan di atas sayuran yang mengelilingi tumpeng besar.

Setelah ubo rampe semua selesai disiapkan, maka dimulailah berdoa. Doa boleh dengan tata cara atau agama masing-masing. Inilah fleksibilitas dan toleransi dalam ajaran Jawa.

Berikut ini contoh doa menurut tradisi Jawa;

Diucapkan oleh orang tua jabang bayi (ayah dan ibu);

“Niat ingsun nylameti jabang bayi, supaya kalis ing rubeda, nir ing sambikala, saka kersaning Gusti Allah. Dadiyo bocah kang bisa mikul dhuwur mendhem jero wong tuwa, migunani marang sesama, ambeg utama, yen lanang kadya Raden Komajaya, yen wadon kadya Dewi Komaratih..kabeh saka kersaning Gusti Allah.

Apabila orang tua beragama Islam, setelah doa secara tradisi, lalu bacakan surat Maryam atau surat Yusuf. Pilih di antara keduanya sesuai keinginan hati nurani. Jika feeling anda ingin membaca surat Maryam, biasanya jabang bayi lahir perempuan. Bila yang dibaca surat Yusuf, biasanya jabang bayi lahir laki-laki.

Dalam tradisi Jawa, yang membuat bumbu rujak dilakukan oleh ibu jabang bayi. Jika bumbunya rasanya asin, biasanya jabang bayi lahir perempuan. Bila tidak kasinen (kebanyakan garam), biasanya lahir laki-laki.

Akan tetapi karna teknologi medis sudah sedemikian canggih, sampai ditemukan USG empat dimensi, jenis kelamin bayi sudah dapat diketahui lebih dini.

Acara mitoni atau tingkeban yang kami paparkan di atas adalah tatacara sederhana. Akan tetapi bukan berarti tidak absah, hanya tidak lengkap saja. Sedangkan tatacara yang lengkap yang biasanya masih dilakukan di kraton-kraton dan masyarakat Jawa yang masih kuat memegang tradisi. Rangkaian acara untuk upacara mitoni secara lengkap urut-urutannya yaitu;

Siraman, memasukkan telor ayam kampung di dalam kain calon ibu dilakukan oleh calon bapak, ganti baju tujuh kali, brojolan (memasukkan kelapa gading muda), memutus benang lawe atau lilitan benang (atau janur), memecah wajan dan gayung, mencuri telor dan terakhir kendhuri.